“ Hujan
membasahi semesta, gundah gulana pun melanda. Pikiran ini seperti kapal yang
terombang ambing di tengah samudera, diterpa badai, topan, petir dan kilat yang
kian menghiasi sesekali memberikan kejutan cahaya langit. Adakah setitik saja
harapan bintang yang bersinar meyakinkan hati ini bahwa masih ada jalan untuk
terbebas atas kegalauan ini ”.
Kembali aku berkata-kata
puitis, aku galau dan galau lagi. Jauh lebih dan lebih tak seperti biasanya.
Nampaknya aku terkena serangan suatu penyakit, yaitu GAD. Atau bahasa ribetnya generalized anxiety disorder. Apakah kamu
tahu? Bila kamu belum mengenalnya, maka tanyakan pada mbah Google. Aku hanya bisa tertawa lepas. Mungkin sebagian massa
mengetahui apa yang kumaksud, tapi sebagian kalangan akan beranggapan bahwa itu
hanya bahasa yang dibuat-buat agar aku terlihat lebih gaul. Ya, untuk kamu
semua yang bergelut dalam ruang ilmu kesehatan, insyaAllah mengetahui apa yang aku maksudkan. Benar, aku mengalami
gangguan kecemasan. Entah ini akan berujung di tumpuan mana, atau malah terus
berbelok yang tiada habisnya. Semoga tidak, bantu aku menemukan jawabanya Ya
Allah...
Seorang
mahasiswa duduk dibangku perkuliahan bidang kesehatan semester 1 disalah satu
universitas di Kalimantan Selatan. San-San, itulah julukan kesayangan yang
dinobatkan padaku, yang dianugerahkan oleh kedua orang tua kandungku dengan
nama Sandra Syerlo Dermawan. Mungkin sahabat-sahabat kampusku sekarang,
mengenal aku sebagai sosok yang anggun, cantik, pintar, dewasa, multi talenta,
dan muslimah yang solehah. Solehah? Ya, kata ini yang akan menjadi sorotan
pertama dari semua titel yang aku
miliki. Apakah kamu tahu masa laluku seperti apa? Akan kuceritakan padamu,
siapa aku yang dulu. Semua berawal dari tahap labilku. Sesuatu yang membuatku
berpikir keras hingga detik ini. Bahkan mungkin seandainya otakku bisa
berbicara, ia pasti akan menyatakan rasa betapa murkanya padaku. Aku pun
sendiri tidak tahu mengapa ini bisa terjadi. Apakah ini akan membawaku dalam
cahaya yang tiada habisnya? Atau malah akan membuatku buta, karena yang kulihat
hanya suram, kegelapan, dan kehampaan yang tiada kesudahan.
Perempuan,
wanita, atau semacamnya itulah kodratku. Tapi semua nampak jelas seperti tidak
wajar. Rambut model spay (itu lho
yang model rambut kaya artis Hongkong), mengenakan behel, mengenakan kaos oblong warna hitam atau putih, celana pendek
yang kantongnya gede segede gaban,
topi, dan sepatu kets. Sangat menyukai coklat dan permen karet. Begitulah stye seorang Syerlo. Syerlo adalah nama
panggilan laki oleh sahabat-sahabatku di SMA. Mereka bilang bahwa nama Sandra gak matching
dengan semua gaya dan gerak-gerikku, karena nama Sandra terlalu feminim alias
kewanita-wanitaan. Aku hanya bisa menerima dengan lapang dada, tangan terbuka,
dan tersenyum lebar, mirip seperti pagar ayu yang menerima tamu di kondangan acara resepsi pernikahan. Aku
seorang karateka, anak pramuka, drumer, dan seorang kapten tim basket di
sekolahku. Tapi jangan salah, aku memiliki hobi memotret, dan penggila sastra.
Ini masih menunjukkan bahwa aku seorang anak perempuan. Lebih tepatnya, anak
cewek yang masih bisa menjadi wanita seutuhnya. Karena katanya, cewek dan
wanita itu memiliki perbedaan.
Semangat ’45
berkobar, tidak ubahnya seperti pejuang-pejuang yang membela mati-matian untuk
kemerdekaan. Kami pun juga seperti itu, meskipun kami berbeda arah tapi tujuan
kami sama, yaitu kemenangan. Hari ini adalah final pertandingan basket putri antara
tim basketku melawan tim Galaksi. Kualitas permainan yang diacungi jempol, dan
rasa percaya diri yang tinggi membuat kami sangat yakin akan menjadi jawara
dalam Liga basket ini. Takdir pun menyetujui, seiring jalan kemenangan yang
kami raih. Sebagai kapten, sudah sepantasnya aku mereguk kepuasan dan
kebanggaan yang mungkin akan menumbuhkan rasa iri dari kapten tim basket yang
lain.
Sepulangnya dari
lokasi pertandingan, seperti biasanya aku bersama sahabat-sahabatku. Si merah
motor kesayanganku dan si coklat bola basket kebanggaanku. Sewaktu di
perjalanan, aku bertemu dengan kawan lamaku saat SMP tempoe doloe. Sentak aku menghentikan si merah, menggendong si
coklat dan segera menghampirinya. Dan berkata “ hay Boy, kemana aja? Lama
banget gak ketemu”. Lalu toss ala
anak laki-laki. Ternyata orang itu berubah drastis, gayanya malah kemayu. Tidak
semacho waktu aku kenal dulu. Bahkan
sekarang kesibukannya menjadi penari merching
band. Oh my God... Anak laki-laki
memegang bendera warna-warni, keliling lapangan, bergaya ala anak perempuan. Eeeuhh, gak banget...Melihat seperti
itu, aku rasanya jadi mual pengen muntah.
Rasa deg-degan, tidak tahu awal mula dan
datangnya dari mana. Seperti rasa takut, atau malah rasa kaget. Dua orang
perempuan cantik berambut panjang, bermaskara tebal, bersoftlens biru, dan berpakaian seksi mendekatiku saat sedang mengobrol dengan Boy.
Mereka tersenyum sumringah dan sesekali saling berpandangan diantara posisiku.
Berambut pirang di sebelah kanan, dan berkawat gigi di sebelah kiri. Gak ada ujan, gak ada gerimis, gak ada ojek,
becek, hahahahahahaha (kata cinca waura), dua wanita itu malah merangkulku
dan meraba-raba wajah mulusku sambil ngoceh,
nyablak, cerewet, ketawa-ketiwi.
SKSD alias sok kenal sok dekat. Asli, tidak sekedar bulu roma atau bulu kuduk
kata penyanyi dangdut, tapi semua bulu terasa berdiri gara-gara kejadian itu.
Wajahku membiru pucat, badanku panas dingin, rasanya sudah ingin tewas
ditempat. Segera ku alihkan pembicaraan dan kutinggalkan mereka. Pulanglah aku
menuju rumah dengan kecepatannya super duper tinggi, sampai-sampai tali gas si
merah hampir tidak bisa kembali mengendur seperti semula.
Masih
terngiang-ngiang, terbayang-bayang, bahkan sampai menjadi bunga tidur dalam
berminggu-minggu. Kejadian itu sangat mengganggu dan menghantuiku. Sudah ku
coba untuk melupakan, tetap saja tidak bisa. Apalagi setelah aku tahu bahwa dua
anak cewek itu memang penyuka sesama wanita. Oh my God pangkat lima, rasa takut berkecamuk dalam diriku. Keinginan
menangis untuk melampiaskan rasa ini sangat besar, tapi nyatanya aku tak mampu
untuk melakukan. Aku bingung. Apakah mereka berdua menyukaiku karena gayaku
yang seperti anak laki-laki? Aku bercermin, dan aku baru tersadar bahwa aku
lebih cocok dikatakan tampan daripada cantik. Pantas saja kalau perempuan
mengidolakanku, dan laki-laki melupakan kehadiranku. Sejak saat itu, aku
mengurangi tingkah tomboy yang selama
ini menjadi statusku. Sekali lagi, mengurangi bukan menghilangkan. Ke sekolah
mengenakan bandana, atau jepit rambut. Bahkan aku berhenti dari klub karate.
Semua kulakukan, karena aku merasa ini lah yang terbaik untukku sekarang.
Perlahan setelah
setengah tahun berjalan seiring waktu, kejadian itu tak lagi mengganggu
kehidupanku. Lebih tepatnya, itu terekam kuat dalam memoriku, namun tidak akan
merusak mimpi-mimpi indah di depanku. Sekarang, aku duduk di bangku kelas II
IPA 1 (Ilmu Pengetahuan Alam). Suatu kebanggaan bagiku, mengingat kedua orang
tuaku adalah jurusan sastra. Mungkin aku salah satu keturunan yang akan merubah
sejarah dalam keluarga. Walaupun jurusan IPA, aku tetap mencintai dunia
fotografi dan sastra. Apabila ada waktu senggang atau istirahat, aku sesekali
menulis puisi, atau memotret di sekitar sekolahku. Seperti hari ini, aku
membuat sebuah puisi yang bernuansa kesunyian dan memotret beberapa tingkah
laku yang tak lepas pandang dariku. Aku sangat senang melakukan kegiatan ini,
sebagai sumber inspirasi dan sumber pelampiasanku.
Melihat kembali
hasil potret yang ku dapat di sekolah. Satu foto close up yang tidak sengaja tertangkap di kamera lomo ku. Seorang siswa berkulit putih
sedang membaca buku di bawah pohon. Aku akui, dia tampan. Dapat kupastikan apabila
dia tersenyum sangat manis. Sumringah aku saat mengetahui ada wajahnya di
kameraku. Rasa deg-degan di hatiku. Ini
sama sekali tidak pernah kurasakan sebelumnya. Serasa terdengar nyanyian lagu
“Menatap indanya senyuman di wajahmu, membuatku terdiam dan terpaku...”. Apakah
ini yang namanya cinta pada pandangan pertama? What? Sejak kapan seorang Syerlo mengenal cinta. Apa itu cinta? Tapi
aku sama sekali tidak mengenalnya, bahkan untuk pertama kalinya aku tahu dia
satu sekolah denganku.
Niatku untuk
mengenalnya. Setidaknya, aku bisa menjadi orang terdekatnya sekalipun hanya seorang
teman yang mengagumi. Di sekolah, aku selalu memperhatikan gerak-geriknya. Bisa
dikatakan, waktu dia masuk kelas, kantin, lapangan, bahkan ke kamar mandipun
aku tahu. Bukan seperti penguntit, tapi detektif. Hingga tanpa terasa, banyak
sekali informasi dan foto wajahnya yang ku dapat. Saat dia tertawa, tersenyum,
kelakuan konyolnya bersama teman-temannya, bahkan saat dia sendiri dan
termenung pun ada. Aku jadi merasa lebih hebat daripada wartawan yang
mengumpulkan banyak data dan informasi.
Anak laki-laki
itu bernama Fahrezi Sinatrya Candida Feryaldi dan nama akrabnya adalah Fahri. Kelas
II IPA 1. Baik, pintar, pemain basket juga seperti aku, dan orangnya sholeh.
Harapanku untuk menjadi kekasihnya cukup besar. Hanya saja, masalahnya adalah
aku takut. Jangankan mendekatinya, mengajak berkenalan saja aku sudah serasa
dipukul 1000 orang body guard dan
1000 penyamun, dan itu sama sekali tidak pernah berhasil. Apalagi setelah aku
tahu, bahwa Fahri menyukai tipe wanita yang anggun, cantik, pintar, dan yang
paling penting adalah berjilab. Hah? Berjilbab? Dari kriteria, aku sudah gagal.
Nol besar. Aku menjadi pesimis, semua impian dan harapan seperti layang-layang
yang terlalu terbang jauh tinggi ditiup angin.
Seperti biasa,
aku mengamati Fahri dari jauh, dan tiap ada kesempatan ku potret dia, dan semua
kukumpulkan menjadi satu album yang khusus tentang dirinya. Baru kali ini,
seseorang benar-benar membuatku kagum, sampai membuatku termenung. Aku sangat
memikirkannya. Tiba-tiba, saat aku sedang asyiknya termenung. Seseorang
mengagetkanku dari belakang. Berbalik badan, dan agak sedikit jengkel, aku
berdiri dari tempat duduk. Sosok yang tidak ku kenal. Melihatnya pun baru
pertama kali. Anak perempuan berkulit coklat, semampai, dan berkerudung lah
pelakunya. Dia mengajakku berkenalan. Ngakunya
sich anak baru getoh.... Namanya Bianka, pindahan dari Singapura. Karena
ibunya meninggal, jadi Bianka ikut neneknya yang tinggal di Indonesia.
Entah mengapa, aku
dan Bianka menjadi sangat akrab, orang-orang mengenal kami seperti soulmate. Pernah sempat ada gosip yang
beredar bahwa aku dan Bianka punya hubungan. Karena aku dan dia sangat berbeda
sekali, aku tomboy sedangkan Bianka
sangat feminim. Hal itu tidak kami gubris, kami anggap “anjing menggonggong,
kafilah berlalu”. Akan tetapi, tetap ada perasaan tidak enak antara aku dan
Bianka. Aku melihat dari ekspresi wajahnya, Bianka ingin mengakatakan sesuatu,
sesuatu yang tidak biasa. Ternyata dugaanku benar, Bianka mengatakan bahwa aku
harus berubah. Aku harus menjadi wanita tulen, bukan wanita jadi-jadian seperti
sekarang. Aku hanya bisa terdiam
mendengar semua nasehat darinya, dan aku pikirkan benar-benar saat aku pulang.
“ Syer, kamu
harus berubah. Jangan seperti sekarang. Ini bukan kamu yang sebenarnya. Kamu
diciptakan Allah dengan kodrat sebagai seorang wanita, bukan pria. Tidak
masalah kamu menyukai basket, bermain drum, bahkan mungkin naik gunung
sekalipun. Tapi ini hidupmu yang nyata. Aku akan sangat menghargai niatmu
apabila ingin berubah untuk jadi lebih baik, lebih menghargai dirimu sebagai
seorang muslimah yang sesungguhnya. Jangan takut Syer, aku akan membantumu
semampuku. Karna, Syerlo sudah kuanggap seperti saudara kandungku sendiri. Aku
mau kamu bahagia, kamu senang, kamu dapat memilih mana yang benar, dan kamu mendapatkan
apa yang kamu inginkan. Aku minta, kamu pikirkan ini baik-baik, karena ini demi
kebaikanmu juga. Untuk hidupmu “.
Dua hari aku
tidak masuk sekolah dengan keterangan sakit. Aku benar-benar seperti mendapat
pencerahan. Atau mungkin dapat dikatakan aku terbangun dari tidurku selama ini.
Mungkin ini membuat Bianka bingung, dan hari itu ia datang ke rumah ku. Dengan
secara tiba-tiba ia sudah berada di kamarku. Kaget setengah ons aku yang baru selesai mandi. Ya,
tanpa membuatnya menunggu lama aku bergegas mengenakan pakaian.
“ Apa ini ? “
Sigap aku bertanya dengan sebuah kotak yang diberikannya pada ku. “ Buka deh
Syer, aku rasa kamu butuh ini” Bianka menjawab pertanyaan dengan tenang. Hah?
Jilbab? Apa-apaan ini. Aku terdiam menunduk, sambil memegang jilbab berwarna
hijau itu. Aku sangat bingung ingin berkata apa. Seperti ada yang meneriakkan
sesuatu di telingaku, tapi tidak terdengar jelas. Tidak terasa, air mataku
menetes mengalir melintasi hidungku yang mancung dan pipiku yang chubby. Bianka mengambil jilbab dari
tanganku. “ Ini aku belikan bukan buat ngelap ingus, bu... Tapi begini cara
memakainya... Nah... Begini kan cantik, pasti Fahri naksir kamu deh! “ Bianka
mengenakan jilbab itu di kepalaku sambil tertawa lepas. Aku hanya bisa
tersenyum dan memeluknya, sambil mengusap air mata dan sedikit cairan yang
keluar dari hidungku. Ini akan membuka jalan baru lagi atau akan membuatku
semakin tersesat.
Setelah kejadian
itu, rasa teriakan itu perlahan-lahan mulai jelas terdengar di telingaku. Aku
masih takut untuk memastikan. Aku takut salah dengar. Aku bercermin kembali. Ku
coba mengenakan jilbab itu. Ku jepitkan peniti di bagian leher, hingga jilbab
terpasang sempurna. Aku tersenyum lebar. Aku seperti melihat bukan diriku yang
selama ini. Di cermin yang kulihat adalah sosok orang lain yang belum aku kenal
sama sekali. Kembali aku meneteskan air mata. Ternyata aku baru sadar, betapa
cengengnnya aku. Aku mengira bahwa Syerlo selama ini adalah sosok yang kuat,
tegar, tidak ada kata menangis dan pasrah.
Tak lama
terdengar adzan magrib. Suara itu menggetarkan hatiku, air mataku semakin deras
mengalir. Hampir mengalahkan air keran yang lagi macet. Bahkan jantungku agak
sulit untuk berkontraksi dan berelaksasi. Sepertinya tekanan darahku naik, dan
efek waktu reaksiku menurun. Kewajibanku sebagai seorang yang Islam, telah lama
meninggalkannya. Aku jarang shalat. Shalat hanya magrib, sisanya aku lalai dan
lupa dengan sengaja. Mengucapkan Astagfirullah
ataupun alhamdulillah saja tidak
pernah sekalipun terucap dari mulutku. Aku wanita, tapi aku malah menampakkan
seperti laki-laki. Aku seharusnya merawat makhota ini, bukan memotongnya model
cepak cincang seperti sekarang ini. Apa yang sudah terjadi denganku selama ini?
Setan apa yang sudah merasuk ke tubuhku yang mungil ini? Tak berlama-lama
menunggu mumpung setannya keluar dari tubuhku, aku segera mengambil air wudhu.
Aku mulai semua
dengan niat, perlahan mengangkat takbir “ Allahu akbar “ hingga salam.
Terbata-bata aku membaca ayat-ayat Allah. Bukan karena aku sudah lupa dan
menghafalnya kembali, tapi ayat demi ayat ku resapi maknanya di hati. Alhamdulillah aku masih hafal dan fasih
melafalkannya yang diajarkan ibuku dulu. Ku panjatkan doa pada yang Mahakuasa.
Berderai air mata ini, mengenang dan mengingat semua kesalahan yang pernah aku
lakukan. Akulah manusia yang berlumuran dosa. Bahkan lebih suci yang berlumur
lumpur kotoran 1000 tahun, dibandingkan saking hinanya aku.
“ Ya Allah...
Ampunilah dosa hambamu selama ini. Hamba yang melupakan semua kewajiban, dan
melalaikan semua perintah Mu. Bimbing hamba ya Allah. Bukalah pintu kalbu ini
dengan segala rahmat Mu, sentuhlah hati ini dengan kasih sayang dan cinta Mu,
ya Allah Tuhan ku yang Mahakuasa...Aku berserah kepada Mu, hanya kepada Mu...”
Meraung-raung aku mencurahkan isi hatiku. Aku katakan bahwa aku lelah, aku
tidak sanggup, dan aku bingung dengan semua yang ada di hadapanku. Aku bersujud
untuk beberapa saat hingga perlahan aku menjadi tenang.
Malam ini aku
berencana ingin mengatakan pada ibuku, bahwa aku ingin mengenakan jilbab, dan
merubah cara berpenampilanku selama ini, dan juga ingin menceritakan semua yang
telah terjadi. Mulut komat kamit sambil bersepeda santai, mendengarkan musik
mengelilingi stadion olahraga, aku memikirkan dan menata kalimat yang ingin ku
sampaikan pada ibuku. Semoga rencana ku berhasil malam ini. Tanpa sengaja saat
sedang asyik-asyiknya, aku melihat Biaka di bawah pohon di ujung stadion. Dan, astagfirullah... Dari jauh aku
melihatnya melakukan hal yang tidak sepantasnya ia lakukan bersama laki-laki. Kenapa
bisa?
Setengah sadar
dan tidak, aku seperti orang konyol di jalan raya. Pandangan kosong, bermimik
bingung. Masih kepikiran dengan hal tadi. Kenapa bisa Bianka melakukan itu?
Sedangkan dia berjilab, rajin ibadah, orangnya juga baik. Bahkan aku baru tahu
kalau dia punya teman dekat laki-laki. Ia tidak pernah menceritakan hal ini
padaku. Aku kembali bingung, setelah kejadian ini, jadi atau tidak mengenakan
jilbab? Aku jadi merasa belum siap untuk memegang amanah berjilbab. Apa kata
orang bila aku masih ugal-ugalan, aku masih belum terbiasa dengan sikap baru
yang lebih sopan, apalagi aku punya banyak teman laki-laki. Itu bisa saja akan
merusak nama baik jilbab. Ih, itu orang
berjilbab. Tapi kok kelakuannya seperti itu ya? Jangan-jangan berjilbab cuma
mau cari sensi, bergaya atau menutup aib. Aku tidak mau kata-kata seperti
itu muncul.
Mengatakan yang
ingin dikatakan, tidak semudah saat aku berlatih komat-kamit kemarin. Apalagi
saat kembali teringat kejadian yang aku lihat kemarin. Hari ini aku menyendiri
tanpa ditemani Bianka. Dan memang hari ini aku juga tidak melihan Bianka
berhadir di sekolah, tidak tahu apa yang sekarang terjadi dengannya. Kembali
aku memotret bersama permen karetku, dan cukup lama tak memperhatikan Fahri.
Memang aku tidak mengenakan jilbab, tapi perlahan aku mengenakan jaket dengan
tutup kepala untuk belajar membiasakan diri. Seperti objek yang hilang, aku
tidak melihat Fahri. Padahal, aku sangat berharap bisa melihat senyumnya hari
ini. Wajah jadi suram karena tidak menemukan sosoknya.
“ Hay...” seseorang menyapa ku dari belakang.
“ Coklat ? “ dia menawarkan coklat padaku. Aku diam seribu bahasa, aku kaget,
aku terkejut, aku syok, apalah
namanya yang mirip itu. Aku hanya bisa mengucapkan huruf A. Seperti orang yang
tidak hafal abjad. Fahri menyapa ku, OMG Oh
My God..... Mimpi apa aku semalam. Berasa kejatuhan durian runtuh. Rezeki
nomplok booo. Dalam hati aku tertawa,
tapi tetap jantung ini berdetak cepat, wajah pucat pasi malu-malu ayam. Dengan
santainya Fahri duduk di sebelahku.
“ Umm...
cuacanya cerah ya. Coba deh lihat awannya, lucu ya. Kenapa Syerlo diam aja? Eh,
namamu memang benar Syerlo kan? Oh iya, aku Fahri “. Dia berbicara sesuka
jidatnya, panjang melebihi rel kereta api. Sambil senyum, sesekali tertawa malu
di depanku. Aku jadi lucu sendiri, sepertinya ia menutupi rasa gugupnya dengan
cara berbicara seperti itu, dan aku malah sebaliknya. Hahahahaha. Dia
menyodorkan tangannya, dan aku menyambutnya dengan hangat. Perkenalan itu
terasa unik dan khas. Tiba-tiba saja menyapa, menawarkan coklat, dan menunjuk
awan yang berbentuk love. Berasa ilfill (ilang feelling). Ternyata orang
yang kukagumi selama ini, begini caranya berkenalan. Setelah perkenalan itu,
kami mengobrol dengan santai. Membicarakan mata pelajaran, ekskul di sekolah,
bahkan cerita konyol anak kecil mungil nyempil yang sukanya ngupil juga jadi
pembahasan. Kalau seperti ini, aku akan sangat cepat mudah akrab dengannya.
Tersenyum aku sembunyi-sembunyi dalam hati.
Lama tak
terdengar kabar Bianka, sudah seminggu ini. Sempat aku menunjungi rumah
neneknya, tapi tidak ada seorang pun. Cukup heran dengan dengan hilangnya
Bianka. Padahal banyak yang ingin kuceritakan, dan kutanyakan padanya. Sempat
terdengar kabar bahwa Bianka kembali ke Singapura bersama keluarganya. Tapi,
tidak jelas alasannya seperti apa. Cukup bersedih, karena baru sebentar
memiliki sahabat sepertinya. Seandainya memang berpisah, kenapa haru seperti ini
caranya? Meninggalkan jejak yang belum aku pahami, mengerti, dan penjelasan
yang jelas atas kejadian kemarin. Semoga saja, aku cepat mendapat kabar
darinya. Lindungi sahabatku Ya Allah...
“ Syer...
Syerlo... Ada surat nih... Katanya dari Bianka. Ibu taruh di meja kamarmu
ya...” Ibu memanggilku saat aku masih di halaman belakang. “ Iya... Makasih ya
bu...” Aku menyahut sembara berlari mencuci tangan dan kaki, dan segera
mengambil surat. Ku baca amplop, memang benar dari Bianka, dan surat ini
dikirim dari Singapura. Segera ku sobek samping amplop coklat itu. Ku baca isi
surat yang ia tulis dengan pena hitam.
“ Sahabatku
Syerlo, maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk pergi tanpa pamit. Karena aku merasa,
saat itu di rumahmu bukan waktu yang tepat untuk mengatakan semuanya. Jujur,
aku sangat senang bisa memiliki sahabat sepertimu. Aku bangga padamu. Apalagi
setelah tahu perubahan terjadi, seorang Syerlo menjadi yang jauh lebih baik.
Sekarang aku pindah ke Singapura. Aku menikah, karena aku hamil. Semua karena kecerobohanku,
sahabatku. Maafkan aku bila aku membuatmu kecewa. Jaga dirimu baik-baik
sahabatku. Jangan biarkan dirimu terbuai dengan sesuatu yang menyesatkan.
Mungkin ini suratku yang pertama dan terakhir. Terima kasih sudah memberiku
kesempatan untuk tersenyum disampingmu. Selamat tinggal sahabatku. “ Tertanda
Bianka.
Aku terkejut
setelah membaca surat pengakuan itu. Rasa kecewa, rasa kasihan, bercampur menjadi satu. Aku
menangis tersedu-sedu setelah mengetahui kenyataan itu. Apalagi setelah melihat
foto pernikahannya. Mungkin suara tangisku terdengar oleh ibu, ibu
menghampiriku. Kuceritakan semuanya pada ibu. Semua yang sudah terjadi
denganku, saat aku disukai sesama wanita, saat aku mengagumi sosok Fahri,
seorang sahabat yang kubanggakan menikah karena kecerobohannya, dan saat aku
ingin berubah menjadi wanita muslimah yang sebenarnya dengan mengenakan jilbab
kemanapun aku melangkah ke luar. Tangisanku meledak di pelukan ibu. Ibu
menasehatiku, dan berusaha membuatku untuk tenang. Saat itu aku benar-benar syok, sepertinya saat itu benar-benar
puncak rasa bingung, dan khawatirku selama ini. Nafasku mulai memendek, oksigen
sulit kuhirup, dadaku kembang kempis. Alamat lah sudah, asma ku kambuh.
Beberapa saat aku menjadi tak sadar dibuatnya.
Aku menjadi murung
sejak saat itu, aku sering melamun, dan menyendiri. Teman-teman yang mengajakku
berbicara tak satupun ku hiraukan, bahkan Fahri sekalipun. Ada rasa trauma yang
masih melekat dalam diriku. Tak bisa dipungkiri usaha yang kulakukan, terlebih
ibuku. Bermacam-macam yang beliau lakukan untuk mengembalikan mentalku seperti
dulu. Hingga saat itu, diam-diam aku memperhatikan ibu. Ibu menangis sambil
memandang fotoku bersama beliau. Spontanitas aku memeluk ibu dari belakang, dan
meminta maaf seraya mencium kaki ibu. “ Syerlo sangat sayang ibu... Maafkan
Syerlo selama ini yang sudah membuat ibu sedih dengan segala tingkah laku
Syerlo, Bu... “ Aku menangis, dan menangis. Ibu dengan kuatnya berkata lantang,
walaupun sambil berderai air mata pula “ Tidak apa-apa anakku sayang, ibu
mengerti “. Saat itu 22 Desember, bertepatan hari ibu. Ku rasa ini adalah saat
yang tepat untukku menyatakan.
“ Selamat hari
ibu, Ibuku tercinta. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Selalu menjadi
penerang, panutan, malaikat, pahlawan, sahabat terbaik, dan protektor yang
selalu menyayangi, mengasihi, dan mencintai ananda bagaimanapun keadaannya.
Ibu, sempurnanya dirimu melengkapi sukma, mendampingi sempurnanya Allahi. I
Love You Bu...” Dengan terbata-bata kunyatakan perasaanku pada ibu.
“ Terima kasih,
semoga gelombang keberuntungan selalu menopang pada jiwa tuntunan bagi anak ibu,
biar jadi anak sukses dunia akhirat. Tiada kebahagiaan lain dihati seongsok ibu
selain kesuksesan buah hatinya. Sekali lagi terima kasih anakku “. Ibu menjawab
pernyataanku. Kami larut dalam kasih sayang, sudah lama kami rindukan bersama.
Tahun ajaran hampir
berakhir di kelas III SMA. Tersenyum kembali, lupakan masa lalu. Apakah kamu
tahu? Sekarang aku mengenakan jilbab, tidak laki-laki seperti dulu. Sekarang
aku wanita tulen, meskipun begitu aku masih menyukai basket, fotografi, dan
tetap pengila sastra. Sahabat terdekatku kini Fahri, walaupun kadang rasa kagum
itu menghantui untuk tidak menjadi sekedar teman. Tapi aku rasa, ini saja sudah
membuatku senang. Setidaknya sampai aku menemukan sosok yang benar-benar
menjadi pendamping hidupku.
Hari ini adalah
hari dimana kami mengikuti tes untuk memasuki dunia perkuliahan. Rasa gugup,
takut, tapi berusaha tenang. Aku dan Fahri sepanjang perjalanan mengubah
suasana ini menjadi riang. Kami bercanda bersama, bergurau bersama, berfoto
berdua, menceritakan hal-hal konyol yang baru kami temukan. Hanya saja saat
itu, tiba-tiba aku merasa takut kehilangannya. Seakan, aku tidak mau apabila
dipisahkan dengannya. Apalagi saat aku melihat senyum bahagianya, rasanya
senyum itu ingin ku bawa pulang dan ku simpan di dompet supaya bisa aku pandang
setiap saat. Lamunan sesaat itu, membuatku sedikit mengurangi candaku. Aku
lebihkan untuk memperhatikan sosoknya benar-benar saat bersamaku. Aku hayati,
sangat terasa kasih sayang itu. Ya Allah, aku baru menyadarinya. Kenapa baru
sekarang? Aku mengira saat itu, itu hanya karena kagum sesaat. Ternyata rasa
itu semakin tumbuh. Aku hanya bisa terdiam dan tersenyum memandangnya.
Di pantai ini
suasananya sangat bagus. Ide yang sangat cemerlang oleh Kepala Sekolah untuk
mengajak kami ke tempat ini setelah menyelesaikan tes di universitas tadi.
Udara yang begitu sejuk membelai raga, melihat gelombang yang saling
berkejaran, burung-burung bernyanyi riang dengan nada do rendah sampai kembali do
tinggi. Kesempatan ini tidak kami lewatkan oleh aku dan Fahri. Kami bermain
main air, berkejar-kejaran, tertawa lepas, riang gembira bersama. Ini sangat
mengesankan bagiku, dan kenangan yang sangat mahal apabila di beli.
Melepas lelah,
kami duduk berdua di bibir pantai. Kami saling bercerita satu sama lain. Baru
saat itu, aku melihat Fahri meneteskan air mata. Ia mengatakan bahwa ia sangat
merindukan sosok ibu yang telah meninggalkannya, semenjak ayah dan ibunya
berpisah. Aku juga ikut terhanyut dalam kisahnya. Kuberikan ia sapu tanganku
untuk mengusap air matanya. Saat itu, aku menjadi kaget. Fahri bersandar di
bahuku, ia memintaku untuk tidak menolaknya. Perasaan yang tidak enak, aku
turuti keinginannya.
“ Syer, apa kamu
ingat saat kita berkenalan dulu? Hahaha. Itu
kejadian yang sangat lucu, aneh, dan unik bagiku. Aku tidak pernah melakukan
hal itu kepada orang lain kecuali kamu Syer. Awalnya, aku mengira ini adalah
impian yang terkonyol untuk bisa menjadi orang terdekat bagimu. Tapi
kenyataannya, sekarang aku malah bisa bersandar, bercerita, tertawa, dan
tersenyum bersama denganmu. Syerlo, kalau boleh jujur, aku sangat senang kamu
menjadi lebih baik sekarang. Apalagi setelah mengenakan jilbab. Apa kamu tahu?
Jilbab itu dikenakan karena Allah ta’ala.
Alasan belum siap itu hanya pembelaan, siap tidak siap sebenarnya harus siap.
Jilbab adalah batasan akhlak seorang wanita, Syer. Aku rasa kamu mengerti apa
maksudku “ Fahri mengatakan ini, tanpa ku sela sedikitpun. Ia pun tidak
bersandar di bahuku lagi, malah berbaring di sampingku.
“ Syer, aku
ingin kamu tahu. Aku sangat menyayangimu, aku mencintaimu, aku sangat senang
bisa mengenalmu di dunia ini. Semoga kita bisa dipertemukan di tempat yang
lebih indah. Oh ya, aku ingin memanggilmu dengan nama Sandra. Ingin ku lakukan
dari dulu. Sandra yang cantik “ Fahri kembali berucap.
Saat aku
berpaling dan melihat wajahnya, Fahri meninggalkanku. Ia tersenyum dengan
raganya yang terbaring pucat. Innalillahi
wainnailaihi roziun.. Aku berteriak “Fahriiiii..”Aku menangis didepannya.
Sekarang aku
duduk di bangku kuliah. Semua kenangan indah kusimpan dengan baik dalam hati.
Sejak semua pengalaman hidup yang ku alami, maka aku bertekad untuk menjadi
lebih baik. Seorang muslimah sejati bernama Sandra.
Cerpen Inspired by: Maharani Rukmana Prahesti , Desember 2011